Harajuku tak sekedar gaya berpakaian, namun merupakan sebuah ekspresi kekecewaan pemuda Jepang atas kultur budaya.
Budaya ini muncul dari banyaknya remaja putri di sana yang merasa
frustasi dengan kultur budaya Jepang yang sangat patriarki. Wanita di
Jepang memiliki posisi berat dan lemah. Wanita ditakdirkan untuk
mengurus anak dan keperluan rumah tangga lainnya. Untuk itulah, keluarga
Jepang tidak pernah menyewa pengasuh anak karena itu merupakan murni
tugas seorang ibu.
Kultur patriarki pun berimbas pada pekerjaan wanita di perusahaan.
Biasanya perusahaan tidak menempatkan mereka pada posisi tinggi karena
pekerja wanita pasti akan keluar dari pekerjaan untuk mengurus
keluarganya. Menjadi wanita Jepang hanya memiliki dua pilihan dalam
hidupnya. Menikah muda atau menunda pernikahan hingga umur 40 tahun-an.
Bila mereka menikah muda, memang mereka harus mendedikasikan hidupnya
untuk keluarganya. Namun jika tidak, mereka bisa bekerja atau
melampiaskan masa remaja mereka dengan konsumerisme.
Konsumerisme bisa dilakukan dengan banyak cara misalnya, bergaya
sesukanya, membeli barang mewah, atau lainnya. Gaya Harajuku menjadi
salah satu contohnya. Harajuku merupakan salah satu kawasan populer
tempat anak muda berkumpul. Kawasan ini terletak di sekitar stasiun JR
Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Sekitar tahun 1980-an, kawasan ini
menjadi tempat lahirnya komunitas anak muda yang memiliki kecintaan pada
budaya pop.
Di jalanan Harajuku-lah, anak muda mengekspresikan dirinya dengan
bebas. Hal ini dilakukan mereka karena ketika di rumah mereka harus
menjadi anak yang penurut, lugu, sopan, serta anggun. Namun, hal ini
dianggap sebagai cara positif untuk mengungkapkan kekecewaan atas budaya
dengan cara-cara yang kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar